Tujuh puluh pesan lebih dari grup whatsaap SMA yang baru sempat ku buka sore itu mengagetkanku. Pasalnya, isi pesan-pesan tersebut bukan lagi tentang ledekan-ledekan teman-teman yang selalu membuat ramai grup, melainkan kabar duka yang kebenarannya pun masih belum dipastikan.
Masih antara percaya
nggak percaya, aku hanya berpositif thinking
bahwa itu berita bohong. Atau setidaknya mereka salah orang. Gimana nggak? Rasanya
baru kemarin aku berkomunikasi denganmu melalui BBM, meski sekedar membuat
janji akan hadir di acara pernikahan salah satu teman sekelas SMA.
Mungkin semasa SMA aku
nggak begitu dekat denganmu, tapi suatu ekstrakurikuler di SMA, yaitu PMR yang
membuat kita cukup sering berkomunikasi dan bekerja sama. Hingga kelulusanmu
pun kita sudah jarang berkomunikasi lagi. Atau kemarin Tuhan memberikanku
kesempatan untuk berkomunikasi denganmu untuk yang terakhir kalinya? Bahkan di
saat itu pula aku belum sempat meminta maaf setelah pertemuan kita yang
terakhir saat buka puasa bersama.
Cukup lama aku hanya
membaca pesan demi pesan yang masuk di grup. Mencerna satu per satu isi pesan
dari salah satu teman yang memang sudah memastikan kabar tersebut ke rumahmu. Aku
masih tetap nggak percaya. Haruskah kamu mengakhiri hidupmu seperti ini? Tuhan,
aku tahu Kau menyayanginya hingga memanggilnya lebih cepat. Tapi, apakah tak
ada cara lain selain kecelakaan yang mengenaskan itu?
Aku mengingat kembali
masa-masa SMA kita. Memang nggak banyak yang ku ingat karena kita dulu nggak
begitu dekat, tapi seenggaknya izinkan aku untuk sedikit mengenangmu. Mulai bagaimana
pertama kali kita berkenalan saat masuk PMR, bahkan bisa satu kelas ketika
kelas 11 dan 12, higga kita bisa bekerja sama memimpin ekstakurikuler PMR di
tahun 2012.
Satu hal yang paling ku
ingat ketika giliran kita memilih seseorang sebagai ketua PMR. Aku tahu, aku
bukan orang yang cocok menduduki jabatan itu setelah lengsernya ketua
sebelumnya. Seharusnya kamu sudah mengenal karakterku yang terlalu lemah
menjadi seorang pemimpin. Tapi kamu dan teman-teman yang lain bersikeras untuk
membujukku agar mau mendudukinya. Hingga sampailah kamu yang memutuskan untuk
menjadi wakilku dan mulai bersama-sama menghandle
ekstrakurikuler ini.
Aku juga masih ingat
ketika kita sama-sama mengeluh merasakan teman dan adik-adik tingkat kita susah
sekali yang namanya diajak untuk kumpul. Merasakan bagaimana harus berpura-pura
marah agar mereka kapok dan nggak semena-mena terhadap kakak tingkat. Dan
tentunya, aku adalah salah satu korban kepura-puraan marahmu itu yang
sebelumnya sama sekali aku nggak tahu kalau kamu hanya acting. Jujur, aku sempat dongkol karena itu bukan yang pertama kalinya.
Tapi setelah itu aku sadar, ini demi kebaikan kita semua. Mungkin PMR semasa
kita akan gagal jika nggak ada orang sepertimu yang tegas dan begitu disiplin. Kalau
“iya”, “iya”, kalau “nggak”, ya “nggak”.
Selamat jalan, Nov. Aku
hanya berharap, semoga amal ibadahmu diterima di sisi Allah dan ditempatkan di
Surga yang terbaik. Aamiiin... Tenang di sana, Nov. InsyaAllah kita semua selalu mendo’akanmu.
Komentar
Posting Komentar